Feodalisme adalah struktur pendelegasian kekuasaan sosiopolitik yang dijalankan kalangan bangsawan/monarki untuk mengendalikan berbagai wilayah yang diklaimnya melalui kerja sama dengan pemimpin-pemimpin lokal sebagai mitra. Dalam pengertian yang asli, struktur ini disematkan oleh sejarawan pada sistem politik di Eropa pada Abad Pertengahan, yang menempatkan kalangan kesatria dan kelas bangsawan lainnya (vassal) sebagai penguasa kawasan atau hak tertentu (disebut fief atau, dalam bahasa Latin, feodum) yang ditunjuk oleh monarki (biasanya raja atau lord).
Istilah feodalisme sendiri dipakai sejak abad ke-17 dan oleh pelakunya sendiri tidak pernah dipakai. Semenjak tahun 1960-an, para sejarawan memperluas penggunaan istilah ini dengan memasukkan pula aspek kehidupan sosial para pekerja lahan di lahan yang dikuasai oleh tuan tanah, sehingga muncul istilah "masyarakat feodal". Karena penggunaan istilah feodalisme semakin lama semakin berkonotasi negatif, oleh para pengkritiknya istilah ini sekarang dianggap tidak membantu memperjelas keadaan dan dianjurkan untuk tidak dipakai tanpa kualifikasi yang jelas.
Dalam penggunaan bahasa sehari-hari di Indonesia, seringkali kata ini digunakan untuk merujuk pada perilaku-perilaku negatif yang mirip dengan perilaku para penguasa yang lalim, seperti 'kolot', 'selalu ingin dihormati', atau 'bertahan pada nilai-nilai lama yang sudah banyak ditinggalkan'. Arti ini sudah banyak melenceng dari pengertian politiknya.
Jakob Oetama: Masyarakat Kita Feodal
Minggu, 9 Mei 2010 | 12:19 WIB
Robert Adhi Ksp/KOMPAS
Jakob Oetama, Chairman Kompas Gramedia
JAKARTA, KOMPAS.com — Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama menilai berbagai persoalan yang mendera negara Indonesia tidak lepas dari pengaruh paham feodalisme yang masih begitu melekat di sebagian besar masyarakat. Dalam paham feodalisme, penyimpangan yang kerap terjadi adalah penyalahgunaan kekuasaan.
Hal ini disampaikan Jakob Oetama saat menjadi salah satu pembicara dalam diskusi bertajuk "Transisi Menuju Demokrasi" di Kolese Kanisius, Jakarta, Minggu (9/5/2010). Turut hadir menjadi pembicara lainnya adalah penerima Nobel Perdamaian 1983 yang juga mantan Presiden Polandia Lech Walesa dan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Syafii Maarif.
"Penyalahgunaan kekuasaan, terutama korupsi, masih sangat merajalela. Bukannya berkurang, tetapi malah justru menguat," kata Jakob Oetama.
Ia menjelaskan, salah satu akar utama dari penyalahgunaan itu adalah sistem feodalisme. Menurut dia, dalam sistem feodalisme itu, otomatis siapa saja yang memiliki kekuasaan menjadi merasa memiliki hak-hak khusus.
"Salah satu sumbernya pada dasarnya struktur masyarakat dan paham kita yang masih feodal. Dalam sistem feodal, jika kita punya kekuasaan, kita juga punya hak-hak tersendiri. Salah satu ekspresinya penyalahgunaan wewenang," ungkapnya.
Ia pun merasa prihatin dengan menurunnya kondisi berbangsa dan bernegara seperti yang terbingkai dalam media saat ini. Ia mengatakan, hal ini patut untuk terus digugat. "Kita hanya bisa menggugat. Bagaimana relevansinya dengan demokrasi," ujarnya.
Ia menegaskan, untuk dapat membangun bangsa dengan lebih baik ke depannya, maka proses reformasi masih perlu untuk terus didorong. Perlu ada sikap saling kontrol, dari masyarakat ke pemerintah. "Reformasi harus jalan terus. Lembaga-lembaga formal harus didukung lembaga yang aktif di masyarakat. Dihardik, itu perlu," ujarnya.
No comments:
Post a Comment